masukkan script iklan disini
Oleh: Nur
Hakim
Baru-baru ini para
anggota DPRD Kabupaten Bangkalan, Madura, harus menemui koordinator dan
perwakilan aksi massa yang melakukan protes keras terhadap sejumlah kebijakan
pemerintah dan meminta pertanggungjawaban pemerintahan daerah Kabupaten
Bangkalan. Dialog berlangsung alot saat itu, pasalnya, salah seorang anggota
DPRD Bangkalan berani mengomentari kritik dan aspirasi dari massa aktivis
pergerakan yang bertujuan mendorong DPRD Bangkalan lebih proaktif dan
partisipatif dalam menjalankan roda Pemerintahan Daerah Kabupaten Bangkalan itu. Dengan logat kental ala Madura, wakil
rakyat itu menyebutkan jaringan pemerintah terlalu kuat sehingga soal interpelasi
itu merupakan hak masing-masing partai. Pernyataan ini mencerminkan betapa
sempitnya jalan pemikiran wakil rakyat kita masa kini, sebab setiap penuturan merupakan
representasi pemikiran yang dibangun secara sadar dan dipersepsikan sebagai
wahana untuk mendemonstrasikan suatu gagasan. Cara komunikasi politik secara
sosial, tidak hanya ditinjau dari sisi bahasa tapi juga perilaku sosial yang diposisikan
sebagai tanda dan representasi (George Ritzer; 2007).
Dalam Pasal 57
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara jelas
menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota
terdiri atas kepala daerah yang dipimpin seorang bupati, legislatif atau DPRD
yang dibantu oleh perangkat daerah, artinya, pernyataan anggota dewan tersebut
secara implisit memberikan pemahaman yang sangat kontradiktif dengan aturan
yang ada dengan membatasi ruang lingkup otonomi daerah dalam konteks
penyelenggaraan pemerintahan daerah cukup ditangan eksekutif, dalam hal ini
Bupati. Dengan pemahaman secamam itu, anggota DPRD secara tidak sadar mempermalukan
dan menjatuhkan kedudukan dan fungsi mereka sendiri seakan-akan mereka
memposisikan diri sebagai pihak yang diperintah, sedangkan eksekutif di daerah
yang dipimpin Bupati adalah pihak yang memerintah. Jika hal ini terjadi dalam
praktek sehari-hari, tidak ada harapan adanya i’tikad dari DPRD untuk melakukan
pengawasan terhadap eksekutif. Pada kenyataannya secara de facto, pemahaman
superioritas eksekutif dan inferioritas legislatif seperti ini sudah menyentuh
level kesadaran, artinya tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari legislatif
untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang terutama
pada Pasal 149 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Anggota legislatif
khususnya DPRD Bangkalan ini dapat dikatakan tidak mengerti tentang tugas dan
fungsinya dalam sistem negara kita yang mendambakan demokratis, terutama pada
prinsip mekanisme pembagian kekuasaan secara check and balance agar tidak ada
lagi pihak yang terlalu kuat, atau superior atas pihak yang lainnya.
Pemda Bangkalan mungkin
bukan satu-satunya daerah dimana jaringan eksekutif terlalu kuat sehingga tidak
dapat dikontrol dan diawasi oleh DPRD sebagai patner kerjanya. Bupati sebagai
pimpinan eksekutif di daerah seolah-olah diposisikan sebagai mahluk yang tidak tersentuh,
fakta mengatakan bahwa eksekutif sekarang adalah hasil “warisan” dari periode
sebelumnya semakin menguatkan kesan “jangan macam-macam” terhadap eksekutif. Tidak
heran jika kemudian ada semacam pembiaran dan sikap apatis terhadap beberapa peristiwa
beberapa hari terakhir ini yang seharusnya menjadi alat bagi DPRD Kabupaten
Bangkalan untuk mengkritisi kinerja eksekutif. Sepertihalnya pergelaran Pekan
Raya Bangkalan (PRB) yang menuai kritik dari masyrakat luas. Gagalnya
pergelaran tersebut tentu berdampak luas dalam arti negatif bagi masyarakat Kabupaten
Bangkalan, karena pergelaran tersebut adalah acara public sehingga kegagalannya
juga berarti problem bagi masyarakat. Selain itu adanya kabar aadanya temuan
BPK RI tentang praktek “pungli” (pungutan liar) yang tidak sesuai prosedural
dilakukan eksekutif untuk setiap anggaran yang diajukan. Bupati tentu menjadi
orang pertama yang harus disorot, karena eksekutif berada dibawah wewenangnya.
Selain itu masih banyak lagi masalah, seperti isu tentang Bupati yang sering
“bolos” masuk kantor sehingga mengganggu efektifitas kinerja pemerintahan
daerah, begitu juga tentang APBD yang bocor. Namun karena posisi bupati yang
dianggap terlalu kuat, seolah-olah telah mengkebiri tugas, fungsi dan wewenang
DPRD Bangkalan.
Jika merujuk pada
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD sebenarnya
dapat memaksimalkan fungsinya sesuai dengan Pasal 149 baik dalam hal pembentukan
Perda Kabupaten/Kota, anggaran, dan pengawasan yang selanjutnya ditegaskan dalam
pasal 153 ayat 1 huruf C bahwa fungsi pengawasan yang dimaksud adalah
pengawasan terhadap hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK, dan hal-hal
terkait yang lain berturut-turut dijelaskan dalam ayat 2, 3 dan 4. Pasal ini
memiliki relevansi dengan temuan BPK yang telah disampaikan sebelumnya. Menilik
kejadian-kejadian diatas sudah seharusnya DPRD dapat melaksanakan fungsinya
yang diamanatkan oleh undang-undang, misalnya dalam Pasal 78 ayat 2 huruf c, d,
dan e. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, kepala daerah bahkan bisa
diberhentikan atas pendapat DPRD karena kepala daerah dinyatakan melanggar
sumpah atau janji jabatan, tidak melasanakan kewajiban untuk mentaati
perundang-undangan dan atau melanggar larangan bagi kepala daerah setelah hal
ini dibuktikan oleh Mahkamah Agung (MA). Artinya kepala daerah tidak kebal
terhadap hukum, pemberhentian kapan saja bisa mengancam tergantung political will
atau kemauan politik dari lembaga legislativ. Kinerja kepala daerah Kabupaten
Bangkalan yang tidak maksimal dan bahkan cenderung diselimuti banyak
problematika menimbulkan krisis kepercayaan di kalangan masyarakat hingga terjadinya
aksi demonstrasi. Temuan BPK RI tentang “pungli” juga menjadi rapor merah bagi
kepala daerah. Amunisi DPRD sebenarnya sangat variatif, mereka bisa menggunakan
hak interpelasi dan hak angket untuk menyelidiki kasus-kasus atau dugaan-dugaan
yang beredar. Dasar hukum yang digunakan adalah pasal 85 ayat 1-4 yang
menjelaskan tentang hak interpelasi dan angket karena kepala daerah diduga
melakukan tindak pidana yang terkait tugas, wewenang dan kewajiban.
Sikap apatis yang ditunjukkan
oleh beberapa anggota DPRD Kabupaten Bangkalan tentu saja kontraproduktif dengan
tujuan tugas dan fungsinya yang turut memberikan kesan afirmatif terhadap apa yang
terjadi di internal pemerintahan daerah, walaupun mereka menyadari adanya
setumpuk masalah yang membelit eksekutif lebih sebagai implikasi sejarah dan
kepentingan politik. Secara legitimasi hukum, sebenarnya terdapat unsur yang
cukup untuk membongkar dugaan-dugaan penyelewengan kepala daerah. Medium-medium
penegakan hukumnya pun sudah disediakan oleh sistem peruundang-undangan. Ada
dua hal yang bisa dipahami dari fenomena ini, dimana kepala daerah terlalu kuat
sehingga DPRD bersikap afirmatif. Pertama, dilihat dari aspek historis dan
kultural, kepala daerah sekarang adalah “putra mahkota” dari kekuasaan
sebelumnya. Legitimasi terhadap kekuasaannya bukan hanya bersifat politis.
Kenyataan bahwa orang Madura masih belum bisa lepas dari budaya dan kesadaran
yang dibangun di masa kolonialisme dan masih dibelenggu oleh kesadaran
feodalisme pada akhirnya dijadikan alat legitimasi oleh penguasa “bangsawan”.
Sadar atau tidak, orang Madura masih belum mampu bertransformasi menjadi
masyarakat yang legal-rasional, dimana praktek berpoitik didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan akal budi atau rasio sehingga keadaan ini
dimanfaatkan oleh penguasa “bangsawan” itu untuk melanggengkan politik
patrimonialisme. Pada akhirnya, corak kepemimpinan dan politik karismatis masih
menjadi pilihan utama mayoritas masyarakat Madura khususnya Bangkalan tanpa
memperhatikan kondisi obyektif akibat dari budaya ini. Bagi masyarakat Madura,
para ulama dan keturunannya menduduki posisi urgen bahkan dalam politik
sehingga legitimasi historis dan kultural menguntungkan kepala daerah. Hal ini
terbukti, sampai sekarang posisi kepala daerah hampir selalu diduduki oleh para
ulama atau pihak yang memiliki hubungan darah dengan mereka. Pemerintahan
bersifat homogen, hanya diduduki oleh kelas tertentu. Kedua, legitimasi yang
bersifat politis. Partai-partai politik hanya peduli bagaimana memenangkan
kontestasi pemilihan kepala daerah. Dengan kesadaran masyarakat madura yang
masih sangat menguntungkan “bangsawan”, partai-partai politik tidak akan sungkan
berafiliasi, apalagi dengan “pewaris” penguasa periode sebelumnya. Hubungan ini
tentu saling menguntungkan baik bagi kepala darerah atau partai politik.
Fenomena kepala daerah
yang terlalu powerfull khususnya di Bangkalan dilatarbelakangi oleh pemilikan
atas dukungan politis dan historis-kultural. Kepala daerah selain memiliki
dukungan dari partai politik, terutama karena memiliki dukungan secara historis
“mengalir darah biru” sehingga membuat masyarakat tunduk terhadapnya secara
kultural. Mengkritisinya adalah hal yang patologis, tidak normal dan dianggap
hal tabu jiak tidak laknat. Melalui agama para politisi “suci” itu merekaya
sosial kemudian mengeksploitasi “keluguan” masyarakat. Pada gilirannya kultur
dan kesadaran masyarakat Madura khususnya Bangkalan, melahirkan sebuah hubungan
Patron-Client dalam sosial, yakni relasi kuat antara seorang figur dengan
massa. Bagaimanapun agama adalah salah satu kekuatan politik, seperti
dinyatakan Niccolo Machiavelli, dalam agama terdapat nilai politis yang dapat
menyatukan masyarakat dan dijadikan alat bagi penguasa untuk mencapai kekuasaan
(Hendri Aprianto; 2013).
Penulis:
Aktivis LSM Gempar, Alumni Unisba, Mantan Presiden Mahasiswa 1014 Lembung Gunung,
Bangkalan-Madura.