Iklan

Restrukturisasi Kesadaran Berpolitik, Kedudukan “Si Raja Kecil” Dipertanyakan

Thursday, September 17, 2015, 10:43:00 AM WIB Last Updated 2022-02-13T15:20:44Z
masukkan script iklan disini
masukkan script iklan disini

Oleh: Nur Hakim

Baru-baru ini para anggota DPRD Kabupaten Bangkalan, Madura, harus menemui koordinator dan perwakilan aksi massa yang melakukan protes keras terhadap sejumlah kebijakan pemerintah dan meminta pertanggungjawaban pemerintahan daerah Kabupaten Bangkalan. Dialog berlangsung alot saat itu, pasalnya, salah seorang anggota DPRD Bangkalan berani mengomentari kritik dan aspirasi dari massa aktivis pergerakan yang bertujuan mendorong DPRD Bangkalan lebih proaktif dan partisipatif dalam menjalankan roda Pemerintahan Daerah Kabupaten Bangkalan itu. Dengan logat kental ala Madura, wakil rakyat itu menyebutkan jaringan pemerintah terlalu kuat sehingga soal interpelasi itu merupakan hak masing-masing partai. Pernyataan ini mencerminkan betapa sempitnya jalan pemikiran wakil rakyat kita masa kini, sebab setiap penuturan merupakan representasi pemikiran yang dibangun secara sadar dan dipersepsikan sebagai wahana untuk mendemonstrasikan suatu gagasan. Cara komunikasi politik secara sosial, tidak hanya ditinjau dari sisi bahasa tapi juga perilaku sosial yang diposisikan sebagai tanda dan representasi (George Ritzer; 2007).

Dalam Pasal 57 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah secara jelas menyatakan bahwa penyelenggara pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota terdiri atas kepala daerah yang dipimpin seorang bupati, legislatif atau DPRD yang dibantu oleh perangkat daerah, artinya, pernyataan anggota dewan tersebut secara implisit memberikan pemahaman yang sangat kontradiktif dengan aturan yang ada dengan membatasi ruang lingkup otonomi daerah dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah cukup ditangan eksekutif, dalam hal ini Bupati. Dengan pemahaman secamam itu, anggota DPRD secara tidak sadar mempermalukan dan menjatuhkan kedudukan dan fungsi mereka sendiri seakan-akan mereka memposisikan diri sebagai pihak yang diperintah, sedangkan eksekutif di daerah yang dipimpin Bupati adalah pihak yang memerintah. Jika hal ini terjadi dalam praktek sehari-hari, tidak ada harapan adanya i’tikad dari DPRD untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Pada kenyataannya secara de facto, pemahaman superioritas eksekutif dan inferioritas legislatif seperti ini sudah menyentuh level kesadaran, artinya tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari legislatif untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang terutama pada Pasal 149 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Anggota legislatif khususnya DPRD Bangkalan ini dapat dikatakan tidak mengerti tentang tugas dan fungsinya dalam sistem negara kita yang mendambakan demokratis, terutama pada prinsip mekanisme pembagian kekuasaan secara check and balance agar tidak ada lagi pihak yang terlalu kuat, atau superior atas pihak yang lainnya.

Pemda Bangkalan mungkin bukan satu-satunya daerah dimana jaringan eksekutif terlalu kuat sehingga tidak dapat dikontrol dan diawasi oleh DPRD sebagai patner kerjanya. Bupati sebagai pimpinan eksekutif di daerah seolah-olah diposisikan sebagai mahluk yang tidak tersentuh, fakta mengatakan bahwa eksekutif sekarang adalah hasil “warisan” dari periode sebelumnya semakin menguatkan kesan “jangan macam-macam” terhadap eksekutif. Tidak heran jika kemudian ada semacam pembiaran dan sikap apatis terhadap beberapa peristiwa beberapa hari terakhir ini yang seharusnya menjadi alat bagi DPRD Kabupaten Bangkalan untuk mengkritisi kinerja eksekutif. Sepertihalnya pergelaran Pekan Raya Bangkalan (PRB) yang menuai kritik dari masyrakat luas. Gagalnya pergelaran tersebut tentu berdampak luas dalam arti negatif bagi masyarakat Kabupaten Bangkalan, karena pergelaran tersebut adalah acara public sehingga kegagalannya juga berarti problem bagi masyarakat. Selain itu adanya kabar aadanya temuan BPK RI tentang praktek “pungli” (pungutan liar) yang tidak sesuai prosedural dilakukan eksekutif untuk setiap anggaran yang diajukan. Bupati tentu menjadi orang pertama yang harus disorot, karena eksekutif berada dibawah wewenangnya. Selain itu masih banyak lagi masalah, seperti isu tentang Bupati yang sering “bolos” masuk kantor sehingga mengganggu efektifitas kinerja pemerintahan daerah, begitu juga tentang APBD yang bocor. Namun karena posisi bupati yang dianggap terlalu kuat, seolah-olah telah mengkebiri tugas, fungsi dan wewenang DPRD Bangkalan.

Jika merujuk pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, DPRD sebenarnya dapat memaksimalkan fungsinya sesuai dengan Pasal 149 baik dalam hal pembentukan Perda Kabupaten/Kota, anggaran, dan pengawasan yang selanjutnya ditegaskan dalam pasal 153 ayat 1 huruf C bahwa fungsi pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan terhadap hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK, dan hal-hal terkait yang lain berturut-turut dijelaskan dalam ayat 2, 3 dan 4. Pasal ini memiliki relevansi dengan temuan BPK yang telah disampaikan sebelumnya. Menilik kejadian-kejadian diatas sudah seharusnya DPRD dapat melaksanakan fungsinya yang diamanatkan oleh undang-undang, misalnya dalam Pasal 78 ayat 2 huruf c, d, dan e. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, kepala daerah bahkan bisa diberhentikan atas pendapat DPRD karena kepala daerah dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan, tidak melasanakan kewajiban untuk mentaati perundang-undangan dan atau melanggar larangan bagi kepala daerah setelah hal ini dibuktikan oleh Mahkamah Agung (MA). Artinya kepala daerah tidak kebal terhadap hukum, pemberhentian kapan saja bisa mengancam tergantung political will atau kemauan politik dari lembaga legislativ. Kinerja kepala daerah Kabupaten Bangkalan yang tidak maksimal dan bahkan cenderung diselimuti banyak problematika menimbulkan krisis kepercayaan di kalangan masyarakat hingga terjadinya aksi demonstrasi. Temuan BPK RI tentang “pungli” juga menjadi rapor merah bagi kepala daerah. Amunisi DPRD sebenarnya sangat variatif, mereka bisa menggunakan hak interpelasi dan hak angket untuk menyelidiki kasus-kasus atau dugaan-dugaan yang beredar. Dasar hukum yang digunakan adalah pasal 85 ayat 1-4 yang menjelaskan tentang hak interpelasi dan angket karena kepala daerah diduga melakukan tindak pidana yang terkait tugas, wewenang dan kewajiban.

Sikap apatis yang ditunjukkan oleh beberapa anggota DPRD Kabupaten Bangkalan tentu saja kontraproduktif dengan tujuan tugas dan fungsinya yang turut memberikan kesan afirmatif terhadap apa yang terjadi di internal pemerintahan daerah, walaupun mereka menyadari adanya setumpuk masalah yang membelit eksekutif lebih sebagai implikasi sejarah dan kepentingan politik. Secara legitimasi hukum, sebenarnya terdapat unsur yang cukup untuk membongkar dugaan-dugaan penyelewengan kepala daerah. Medium-medium penegakan hukumnya pun sudah disediakan oleh sistem peruundang-undangan. Ada dua hal yang bisa dipahami dari fenomena ini, dimana kepala daerah terlalu kuat sehingga DPRD bersikap afirmatif. Pertama, dilihat dari aspek historis dan kultural, kepala daerah sekarang adalah “putra mahkota” dari kekuasaan sebelumnya. Legitimasi terhadap kekuasaannya bukan hanya bersifat politis. Kenyataan bahwa orang Madura masih belum bisa lepas dari budaya dan kesadaran yang dibangun di masa kolonialisme dan masih dibelenggu oleh kesadaran feodalisme pada akhirnya dijadikan alat legitimasi oleh penguasa “bangsawan”. Sadar atau tidak, orang Madura masih belum mampu bertransformasi menjadi masyarakat yang legal-rasional, dimana praktek berpoitik didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan akal budi atau rasio sehingga keadaan ini dimanfaatkan oleh penguasa “bangsawan” itu untuk melanggengkan politik patrimonialisme. Pada akhirnya, corak kepemimpinan dan politik karismatis masih menjadi pilihan utama mayoritas masyarakat Madura khususnya Bangkalan tanpa memperhatikan kondisi obyektif akibat dari budaya ini. Bagi masyarakat Madura, para ulama dan keturunannya menduduki posisi urgen bahkan dalam politik sehingga legitimasi historis dan kultural menguntungkan kepala daerah. Hal ini terbukti, sampai sekarang posisi kepala daerah hampir selalu diduduki oleh para ulama atau pihak yang memiliki hubungan darah dengan mereka. Pemerintahan bersifat homogen, hanya diduduki oleh kelas tertentu. Kedua, legitimasi yang bersifat politis. Partai-partai politik hanya peduli bagaimana memenangkan kontestasi pemilihan kepala daerah. Dengan kesadaran masyarakat madura yang masih sangat menguntungkan “bangsawan”, partai-partai politik tidak akan sungkan berafiliasi, apalagi dengan “pewaris” penguasa periode sebelumnya. Hubungan ini tentu saling menguntungkan baik bagi kepala darerah atau partai politik.

Fenomena kepala daerah yang terlalu powerfull khususnya di Bangkalan dilatarbelakangi oleh pemilikan atas dukungan politis dan historis-kultural. Kepala daerah selain memiliki dukungan dari partai politik, terutama karena memiliki dukungan secara historis “mengalir darah biru” sehingga membuat masyarakat tunduk terhadapnya secara kultural. Mengkritisinya adalah hal yang patologis, tidak normal dan dianggap hal tabu jiak tidak laknat. Melalui agama para politisi “suci” itu merekaya sosial kemudian mengeksploitasi “keluguan” masyarakat. Pada gilirannya kultur dan kesadaran masyarakat Madura khususnya Bangkalan, melahirkan sebuah hubungan Patron-Client dalam sosial, yakni relasi kuat antara seorang figur dengan massa. Bagaimanapun agama adalah salah satu kekuatan politik, seperti dinyatakan Niccolo Machiavelli, dalam agama terdapat nilai politis yang dapat menyatukan masyarakat dan dijadikan alat bagi penguasa untuk mencapai kekuasaan (Hendri Aprianto; 2013). 


Penulis: Aktivis LSM Gempar, Alumni Unisba, Mantan Presiden Mahasiswa 1014 Lembung Gunung, Bangkalan-Madura. 
Komentar

Tampilkan

Terkini

advertorial

+