masukkan script iklan disini
Jakarta/MNi. Putusan
Majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan yang menolak
seluruh gugatan perdata Pemerintah dan memvonis bebas PT Bumi Mekar Hijau di Ogan Komering Hilir atas tuntutan Pembakaran hutan di Sumatera
Selatan tidak hanya membuat kecewa masyarakat Sumatera tapi juga rakyat
Indonesia umumnya. Tragisnya lagi, Parlas
Nababan selaku Ketua Majelis Hakim PN Palembang mengeluarkan pernyataan yang
membuat banyak pihak geram. Betapa tidak, menurut Parlas Nababan, membakar
hutan tidak merusak lingkungan hidup karena masih bisa ditanami lagi.
Negara dalam hal ini kementrian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan kalah di Pengadilan karena anak anak perusahaan Sinar Mas Grup divonis
bebas atas kasus pembakaran hutan seluas 20 ribu hektar itu. Masih ingat dalam
benak rakyat Indonesia, nenek yang dituduh mencuri kayu bakar saja dihukum dengan
pidana penjara, hal ketimpangan hukum inilah yang menyebabkan banyak pihak dari
berbagai kalangan bereaksi keras terutama yang memberi perhatian kepada
lingkungan dan penegakan hukumnya. Bahkan kalangan Komisi III DPR
RI diketahui turut meminta Komisi
Yudicial untuk ikut turun tangan menyikapi keputusan majelis hakim PN Palembang
yang dinilai melukai hati rakyat Indonesia.
Banyak rakyat dikatakan menderita karena asap baik
kerugian sosial, ekonomi, bahkan cukup banyak balita dan anak anak-anak
meninggal, lalu mengapa gugatan perdata Kementrian Lingkungan hidup
tersebut ditolak oleh PN Palembang dan memvonis bebas perusahaan pembakar hutan
tersebut?. Kekhawatiran berbagai pihak akan adanya perang kepentingan, main
mata dan kong kalikong, masih menonjol dalam kasus kasus pembakaran hutan dan
lahan yang melibatkan korporasi besar. Dalam siaran persnya, Direktur Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengatakan, keputusan PN
Palembang itu merupakan bukti ketidakseriusan negara dalam menindak pelaku perusakan
lingkungan hidup. Padahal Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
tepatnya pada Pasal 49 dengan tegas dan jelas mengatakan bahwa pemegang hak
atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya,
“ada apa dengan para hakim sehingga membebaskan PT Bumi Kekar Hijau dari
tuntutan penggugat (Kementrian LHK,Red) hanya dengan alasan pembakaran hutan tidak
menyebabkan kerusakan lingkungan karena masih tetap bisa ditanami dan tanaman
tetap tumbuh subur, ini sangat sesat dan menunjukan bahwa majelis hakim tidak
paham kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla,Red) di konsesi perusahaan.”
kata Hadi dalam siaran persnya dari Palembang, Rabu kemarin.
Dalam konsesi menurut UU No 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup juga mewajibkan bahwa setiap orang yang melakukan
usaha dan/atau kegiatan berkewajiban menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan
hidup. Banyak pihak menilai, keputusan hakim PN Palembang menjadi preseden
buruk bagi penegakkan hukum untuk perusahaan pembakar hutan dan lahan yang melibatkan
ratusan perusahaan. Dalam catatan Kementerian LHK, dikatakan total luas
hutan-lahan yang terbakar di Indonesia tahun 2015 mencapai 2,1 juta hektare
(ha). Sementara itu, sekitar 838 ribu ha atau 40% dari total lahan dan hutan
terbakar terletak di Sumatera Selatan dan 108.028 ha di antaranya berada di PT
BMH. Angka ini lebih luas dari 2014 yang hanya 60 ribu ha dari 20 ribu ha yang
digugat. Dalam putusannya, majelis hakim PN Palembang menganggap gugatan kasus
kebakaran hutan dan lahan oleh PT Bumi Mekar Hijau di Ogan Komering Hilir,
tidak dapat dibuktikan, padahal, Kemeterian LHK telah menunjukkan bukti dan
fakta di lapangan yang cukup kuat.
Kini, kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengajukan
banding atas putusan mejelis hakim Pengadilan Negeri Palembang, Parlas Nababan,
yang memutuskan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) tidak bersalah atas kasus kebakaran
hutan dan lahan (Kahutla) itu. Hal ini membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla
angkat bicara. Menurut Wapres Jusuf Kalla, pihak Istana pun mendukung penuh
upaya banding dari kementerian KLH tersebut, “semua ada konsekuensi hukumnya,
maka pemerintah dalam hal ini menyatakan banding” kata kata Wakil Presiden
Jusuf Kalla (JK) kepada wartawan, di kantor Wakil Presiden RI, Jakarta Pusat,
Rabu (06/01/2015). / Red