masukkan script iklan disini
Heri Gunawan
Wakil Ketua Komisi VI DPR
Dalam Rapat Dengar Pendapat
(RDP) dengan pihak pengelola bandara yang baru saja selesai dilakukan,
mengemuka ada dua keganjilan pada harga jual avtur Pertamina. Pertama, harga
jualnya 22-47% lebih mahal di dalam negeri. Makin ke timur, makin mahal di
tengah-tengah harga internasional yang sedang turun. Kedua, untuk produk yang
sama, kok Pertamina bisa menjual lebih murah di Singapura.
Dua keganjilan itu menguatkan
dugaan bahwa Pertamina sedang melakukan monopoli avtur. Akibatnya, airlines
domestik teriak karena hal itu telah memberatkan mereka. Apalagi, avtur menjadi
komponen biaya paling besar, yaitu hampir setengah dari total biaya
operasional.
Alasan Pertamina menjual avtur
lebih mahal karena harus melakukan subsidi silang, tidak bisa diterima akal
sehat. Mengapa? Pertama, Pertamina tidak dipungut sewa ketika mensupply avtur
ke bandara kecil. Tidak ada PNBP di situ. Alasan kedua, disparitas harganya
tinggi sekali. Di Cengkareng 22%, di Luwuk bisa mencapai 47%. Lebih jauh, jika
Pertamina bisa menjual lebih murah di Singapura, kenapa di Luwuk atau di
Gorontalo tidak bisa?
Sebagai BUMN, seharusnya
Pertamina sadar bahwa tugasnya tidak hanya mencari untung sebesar-besarnya,
tapi juga harus menjalankan fungsinya sebagai agen pembangunan nasional
sebagaimana yang dimuat dalam UU No. 19/2003 tentang BUMN. Sebagai agen
pembangunan nasional, wajib mewujudkan pemerataan pembangunan yang adil.
Karena itu, kami minta kepada
KPPU untuk serius mendalami kasus ini. Selanjutnya, dalam rapat besok Pertamina
harus bisa menjelaskan mengenai Harga Pokok Produksinya (HPP) beserta pola
distribusinya. Dengan begitu, semua akan lebih clear dan transparan, termasuk
pungutan-pungutan yang tidak perlu.